Minggu, 30 September 2012

GUBERNUR PUJI FESTIVAL SALO KARAJAE

PAREPARE – Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo memuji penyelenggaraan Festival Salo Karajae 2012. Membuka kegiatan yang berlangsung di Sumpang Minangngae Kecamatan Bacukiki Parepare, Rabu, 27 September, Syahrul menilai fastival salo Karajae dapat menjadi media positif bagi pelestarian budaya masyarakat Sulawesi Selatan.

“Kita perlu melestarikan budaya. Kita ingin menjaga apa yang telah dilakukan orang-orang dulu. Semua yang baik harus diteruskan. Yang membuat kita gembira, sukaria harus dijaga dan dilestarikan bersama-sama,” kata Syahrul di hadapan ribuan warga yang hadir menyaksikan pembukaan festival yang dilaksanakan setahun sekali ini.

Menurut Syahrul, Festival Salo Karajae dapat memperkuat Ajattapareng (Kabupaten Enrekang, Sidrap, Pinrang, Barru, dan Kota Parepare) dalam segala dimensi. Festival ini dapat menguatkan kembali budaya, moralitas, harga diri, serta gensinya orang-orang Bugis Makassar. "Sekaligus untuk memperlihatkan bahwa di daerah kita ada potensi yang menjanjikan dan bisa menambah pertumbuhan ekonomi kita semua,” katanya.
Syahrul berharap, ke depan Parepare dapat mewujudkan diri sebagai kota persingahan. “Orang harus singgah dulu minum air dan menghirup udara segar Parepare sebelum ke daerah lain di Ajattapareng. Tidak hanya di Ajatappareng tetapi juga mereka yang bergerak ke utara. Kalau orang singgah, minum air dan makan makanan Parepare, maka berputarlah uang di Parepare,” katanya.

Sementara itu, Plt. Wali Kota Parepare, H. Sjamsu Alam, mengatakan, penyelenggaraan event tersebut tidak hanya dimaksudkan untuk melestarikan seni budaya masyarakat Ajatappareng, tetapi bagaimana kegiatan ini diharap membawa semangat kebersamaan, kekompakan serta kerjasama dari semua daerah yang menjadi peserta.

Kerjasama dan kekompokan tersebut selanjutnya diharapkan mendorong kemajuan dan perkembangan perekonomian daerah-daerah yang ada. Dia juga menyatakan terima kasih kepada seluruh kontestan dan para bupati yang telah mengirim perwakilan berpartisipasi dalam Festival Salo Karajae 2012.

Kegiatan ini diikuti ratusan peserta dari sejumlah daerah di Ajattapareng. Selain lomba mappadendang, tari kreasi dan lomba perahu tradisional, festival Salo Karajae 2012 juga dimeriahkan dengan lomba lagu daerah, outbond, dan lomba foto objek.

Kegiatan ini juga memperlombakan berbagai olahraga tradisional, seperti lomba lepa-lepa (perahu layar), lomba malongga (enggrang), lomba manggasing (lomba gasing), lomba madaga (takraw), serta lomba terompah (terompah)
sumber : www.humaspemkotparepare.info

Kamis, 12 Maret 2009

BATIK BUGIS ANDALKAN PEWARNA NATURAL


Batik Bugis Makassar yang diberi nama cora toriolo akan mengandalkan pewarna natural yang ada di masyarakat dan ramah lingkungan seperti daun mangga, daun pepaya, kulit pohon mahoni, kulit daun ketapang, akar pohon pace, biji kembang bixa, kunyit, air kelapa dan lain-lain.

Inovasi Batik Bugis Makassar akan sangat berbeda dengan batik-batik yang sudah ada, dimana ini memiliki keunggulan karakter, teknologi proses pembuatan, serta teknik pewarnaan dan corak yang belum dilakukan pembatik-pembatik yang ada saat ini. Pembuatan Batik Bugis Makassar ini menggunakan teknologi komputer dalam penciptaan design hingga pewarnaan.

Program Batik Bugis Makassar akan diprogram secara bertahap melahirkan motif-motif baru berdasarkan daerah-daerah yang ada di Sulawesi Selatan seperti motif Parepare sendiri, motif Maros,motif Soppeng, motif Toraja dan berbagai motif lainnya.

Untuk mengejar ketinggalan pengembangan batik yang ada, program Batik Bugis Makassar ini akan difokuskan pada penciptaan puluhan ribuan design pakem dasar batik yang akan menjadi data base unggulan dan pelatihan teknik batik.Pelatihan teknik pembuatan batik ini akan difokuskan di masyarakat dengan membuka lapangan kerja di sektor UKM dan sektor pendidikan.

Cora Toriolo
Istilah cora toriolo dimaksudkan agar batik ini memiliki ciri tersendiri dalam industri batik. Selain itu akan memberi identitas kuat dalam buadaya Sulawesi Selatan dipercaturan batik dan handicraft.

Program pengembangan cora toriolo, akan terus dikembangkan melalui media kain dan juga media lain seperti kayu, keramik, dan logam. Sosialisasi cora, ungkap dia, akan terus dilakukan Pemerintah melalui seminar dan workshop kepada masyarakat seni dan budayawan yang akan memberikan masukan yang berarti.

Dalam teknik pembatikan, batik bugis ini memiliki corak tersendiri dibandingkan dengan batik lainnya.” Teknik dan warna juga tidak sama seperti di Jawa dengan sistem digital dan teknologi” ujar Taufik Hidayat,Direktur CV Tjnadra Kirana Noor yang berencana mengembangkan batik bugis di Parepare.

Keunggulan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Sulawesi Selatan menjadi slah satu langkah strategis untuk memulai langkah awal untuk bisa bersaing pada pasar bebas nanti .Keunggulan basic culture yang tidak dimiliki oleh negara lain akan menjadi basis poin program yang akan dilaksanakan Pemerintah Daerah. (ysn)

ROTI BERRE


Salah makanan favorit bagi masyarakat Bugis atau warga Parepare pada khususnya adalah roti berre ini, atau yang dalam bahasa Indonesia dinamakan Roti Beras. Sesuai dengan namanya roti ini bahan pokoknya dari tepung beras dicampur dengan pisang.

Makanan ini sering kita jumpai di pagi hari dan menjadi menu sarapan pagi bagi kebanyakan orang di Parepare. Dihidangkan bersama teh hangat atau kopi, akan terasa lebih nikmat. Selain itu,sebagian orang menghidangkan roti berre ini bersama madu dan rasanya lebih nikmat.

Bahkan dalam acara-acara tertentu, roti berre ini biasa disajikan bersama kari ayam.Roti berre dapat dianggap sebagai pengganti nasi.Ini yang mungkin membedakan antara roti berre dengan roti lainnya yang terbuat dari terigu. Dan bila dibandingkan dengan roti yang dijual di toko dengan harga cukup mahal, roti berre tak kalah rasanya. Harga untuk sebuah roti ini cukup murah hanya Rp 500.

Metode pembuatan roti ini cukup sederhana,hanya dengan menyediakan bahan yang telah diramu ,kemudian bahan tersebut dituang ke wajan dengan ukuran tertentu. Setelah itu ditutup dengan pallekko (penutup yang terbuat dari bahan tanah liat) dan setelah matang bagian bawah ,maka dibalik lagi sehingga kedua sisinya matang sebuah.Biasanya penjual roti berre ini menyiapkan beberapa kompor sehingga bisa menghasilkan dalam waktu cepat.(ysn)

KANRE SANTAN


Berkunjung ke Parepare , maka tak lengkaplah rasanya bila tidak menikmati kanre santan atau biasa disngkat dengan kanse.Kanse merupakan nasi yang dicampur dengan air santan dan dihidangkan bersama dengan aneka lauk yang tersedia.

Campuran air santan inilah yang membedakan dengan makanan lainnya, yang bisa menambah selera makan bagi para penikmatnya.Kanse ini biasanya disajikan bersama dengan ikan tuna goreng, nasu palekko ( daging bebek yang diiris kecil-kecil), dan berbagai menu lainnya.

Biasanya makanan ini banyak disukai orang pada malam hari dan bahkan sampai tengah malam,warung-warung kanse masih terbuka. Untuk mendapatkan kanse ini, bisa kita dapatkan di jalan pertamina dan beberapa tempat lainnya di Parepare. Di sana bisa kita beberapa warung menyediakan kanse dengan aneka lauk seperti ayam bebek,telur.dan sebagainya.

Makanan ini tergolong murah, karena hanya merogoh kocek sekitar Rp.6.000 saja,maka kita sudah bisa menikmatinya dengan lauk berupa ayam atau bebek ditambah dengan perkedel dan mie.Untuk menambah dengan lauk lainnya, tentunya harus juga membayar lebih.(ysn)

Selasa, 10 Maret 2009

SEJARAH MONUMEN 40.000 RIBU JIWA


Monumen Korban 40.000 Jiwa merupakan saksi sejarah atas gugurnya 23 pejuang oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh Onder Luitenant Vermeulen pada tanggal 14 Januari 1947.Milter Belanda pada saat itu menggiring ke 23 pejuang tersebut yang sedang ditahan markas MP (sekarang Asrama CPM) Parepare menuju terminal yang sekarang ini menjadi Monumen Korban 40.000 jiwa yang terletak di depan Masjid Agung Parepare.

Ke-23 Pejuang tersebut adalah Makkarumpa Daeng Parani ,A.Isa, A.Sinta, Abdul Rasyid, La Nu’mang,Muh.Kurdi,Abd.Muthalib,Lasiming, Puang Side, La Sibali ,Oyo,LA Sube, A.Mappatola, A.Pamusureng,Abubakar Caco,A.Etong,Bahrong ,HA Abubakar,Osman Salengke,La Upe,La Buddu,La Side, Haruna.Nama-nama tersebut kerap kita jumpai sebagai nama jalan di Parepare dan ini merupakan bentuk penghargaan pemerintah kepada mereka.

Mereka dijajarkan dan ditembak di Monumen Korban 40.000 jiwa sekarang ini. Namun salah seorang perempuan yang sedianya akan ditembak akhirnya dikeluarkan dari barisan. Korban penembakan tersebut diangkut dengan truk sebagai syuhada tanpa dimandikan dan dikafani.Mereka pun dikebumikan bersama dalam satu lubang di Pekuburan La Beru yang sekarang ini merupakan Taman Kesuma Parepare.
.
Pemerintah Kota Parepare membangun Monumen Korban 40.000 Jiwa sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa-jasa pahlawan yang rela mempertaruhkan nyawanya demi kemerdekaan.Selain itu pemerintah juga turut melestarikan bangunan bersejarah ini yang dianggarkan dalam APBD Kota Parepare

“Pemerintah akan tetap menjaga dan tidak akan merevitalisasi bangunan bersejarah ini untuk kepentingan bisnis seperti pembangunan mal dan sejenisnya.Karenanya Pemkot sudah berkomitmen menjaga kelestarian semua cagar budaya di kota ini”ujar Iwan Asaad,Kabag Humas Parepare.

Monumen korban 40.000 Jiwa ini diresmikan tahun tujuh puluhan. Diantara orang-orang yang hadir meresmikan monument tersebut adalah Mayjen (purn) A Mattalatta, A Mannaungi (mantan Walikota Parepare),Kol.A Lantara, Kapt (purn) Arsyad B (mantan Bupati Pangkep), A.Sapada (mantan Bupati Sidrap).(ysn)
(Sumber : Parepare Lebih Indah dari Monte Carlo/A.Makmur Makka)

Senin, 09 Maret 2009

BACUKIKI TEMPO DOELOE


Bacukiki merupakan pelabuhan dan bandar perdagangan kesohor di nusantara pada abad ke-15 dan 16. Dengan posisinya tersebut, ia menjadi rebutan kerajaan di Sulawesi. Tercatat beberap kerajaan yang pernah menaklukkan Bacukiki yakni Kerajaan Wajo, Gowa dan Bone dan Kerajaan Siang (Pangkajene).

Saat Bacukiki dikuasai Kerajaan Gowa dibawah kepemimpinan Raja Gowa X Tunipalangga (1546 – 1565), banyak rakyat Bacukiki dipindahkan ke Gowa, termasuk orang-orang Melayu yang sudah mendirikan perwakilan usaha di Bacukiki. Dan itulah asal mula banyak pemukim Melayu di Makassar (Gowa).

Saat Gowa ditaklukkan oleh Arung Palakka dari Bone, maka otomatis Bacukiki menjadi daerah taklukannya juga. Arung Palakka memerangi Datu Bakke (Wajo) dan meminta Datu Bakke menyerah. Belanda yang merasa punya peluang membantu Datu Bakke menawarkan bantuan kepadanya untuk mengevakuasinya dengan tiga kapal dari pelabuhan Bacukiki.

Dari sana, datu Bakke diharapkan meneruskan perjalanan ke Tamparang (Ajatapparang). Mendengar berita ini, membuat Arung Palakka murka. Belanda berdalih bahwa ia hanya mengirimkan satu kapal ke Bacukiki, karena kebetulan VOC berniat mengembangkan perdagangan di Ajatapparang.

Demikian sekilas gambaran Bacukiki masa lalu yang ditulis oleh Leonard Andaya dalam bukunya “ The Heritage of Arung Palakka”, berdasarkan studi ilmiahnya dari berbagai sumber yang masih tersimpan di negeri Belanda.

Sekarang ini telah masyarakat Bacukiki berkembang seiring perkembangan Kota Parepare. Mereka tetap eksis meski Parepare sekarang lebih banyak dihuni kaum pendatang dari berbagai daerah di tanah air.

Kecamatan Bacukiki telah dimekarkan menjadi dua kecamatan yakni Kecamatan Bacukiki dan Bacukiki Barat.Kecamatan Bacukiki meliputi empat kelurahan yakni Lompoe,Watang Bacukiki, Lemoe dan Galung Maloang. Sementara Bacukiki Barat meliputi wilayah Lumpue,Sumpang Minangae, Cappa Galung, Kampung Baru, Bumi Harapan dan Tiro Sompe.
(Sumber : Parepare Lebih Indah dari Monte Carlo/A.Makmur Makka)

Senin, 02 Maret 2009

KEHIDUPAN ETNIS TIONGHOA DI PAREPARE


Jarak antara warga keturunan Cina dengan warga pribumi di Kota Parepare, jaraknya tidak bisa lagi diukur. Kehidupan mereka di tengah masyarakat tidak punya lagi jarak pemisah. Mereka hidup membaur di semua lini kehidupan sosial sehingga sulit dibedakan, mana warga keturunan Cina dan mana warga pribumi.

Jangan heran jika anda menemukan, ada warga keturunan Cina sangat fasih berbahasa daerah. Sebab hampir semua warga Tionghoa ini mengerti dan paham serta lancar melafalkannya. “Malah, mereka lebih pintar berbahasa Bugis dibanding orang Bugis itu sendiri yang sudah tidak tahu lagi bahasa daerahnya”, kata Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Parepare, Loekito Soedirman kepada Bulletin Bandar Madani.

Kondisi ini bisa dimaklumi karena sosialisasinya dengan kehidupan masyarakat lokal sudah terbilang ratusan tahun. Keturunan Cina yang ada sekarang di Kota Bandar Madani ini, tidak bisa lagi dihitung keturunan ke berapa dari nenek moyangnya. Sebab, etnis Cina ini masuk di Kota Parepare sekitar 200 tahun silam.

Saat ini berdasarkan data PSMTI yang didirikan 10 tahun lalu itu, sekitar 500 KK atau sekitar 2.000 orang Cina. Secara alamiah, mereka sudah membaur dengan warga pribumi bahkan sudah ada yang kawin-mawin. Seluk beluk bahasa dan budaya lokal mereka sudah ketahui dengan baik, sehingga sangat sulit membedakannya dengan warga setempat. Agama mereka pun, sama dengan yang dianut warga pibumi yaitu Islam, Kristen, Budha dan lain-lain. Mereka pada umumnya hidup dalam usaha kegiatan perdagangan dan bisnis lainnya, malah ada yang papah.

Menurut Loekito, PSMTI Parepare hanyalah cabang dari PSMTI yang berpusat di Jakarta. Meski sebanyak empat vihara di Kota Parepare tetapi semuanya bernaung di dalam PSMTI. Wadah ini berperan mendekatkan diri dengan pemerintah dan warga setempat serta mengurusi kepentingan warga Tionghoa itu sendiri, termasuk merintis pekuburan khusus Tionghoa di BilalangE.

PSMTI ini juga mengembangkan dan melestarikan kesenian dan budaya etnis Tionghoa supaya tidak punah di mata generasi mudanya. Wadah ini turut berperan aktif pada saat diminta oleh pemerintah daerah untuk ikut lomba Barongsai di tingkat propinsi maupun tingkat lokal. Pada hari-hari tertentu, sepeti Imlek mengadakan pertunjukan kesenian etnis Cina. Kemudian pada hari Raya Idul Fitri turut pula bersuka cita dengan bersilahturahmi ke panti jompo dan panti asuhan.

Meski tidak ada yang mencoba ke pemerintahan, tetapi terbukanya kran reformasi maka etnis Cina pun bisa duduk di legislatif. Loekito sangat bangga dan bersyukur karena ada warga keturunan Cina yang ikut bekompetisi pada Calon Legislatif (caleg) tahun 2009 nanti. ”Tidak ada masalah jika mereka ingin berkiprah duduk di dewan, asalkan orangnya cakap dan pantas mewakili rakyat. Meski dia orang Cina jika tidak layak, maka warga keturunan Cina belum tentu mendukungnya”, ungkap Loekito. (St.Rahmawati).