Senin, 02 Maret 2009

KEHIDUPAN ETNIS TIONGHOA DI PAREPARE


Jarak antara warga keturunan Cina dengan warga pribumi di Kota Parepare, jaraknya tidak bisa lagi diukur. Kehidupan mereka di tengah masyarakat tidak punya lagi jarak pemisah. Mereka hidup membaur di semua lini kehidupan sosial sehingga sulit dibedakan, mana warga keturunan Cina dan mana warga pribumi.

Jangan heran jika anda menemukan, ada warga keturunan Cina sangat fasih berbahasa daerah. Sebab hampir semua warga Tionghoa ini mengerti dan paham serta lancar melafalkannya. “Malah, mereka lebih pintar berbahasa Bugis dibanding orang Bugis itu sendiri yang sudah tidak tahu lagi bahasa daerahnya”, kata Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Parepare, Loekito Soedirman kepada Bulletin Bandar Madani.

Kondisi ini bisa dimaklumi karena sosialisasinya dengan kehidupan masyarakat lokal sudah terbilang ratusan tahun. Keturunan Cina yang ada sekarang di Kota Bandar Madani ini, tidak bisa lagi dihitung keturunan ke berapa dari nenek moyangnya. Sebab, etnis Cina ini masuk di Kota Parepare sekitar 200 tahun silam.

Saat ini berdasarkan data PSMTI yang didirikan 10 tahun lalu itu, sekitar 500 KK atau sekitar 2.000 orang Cina. Secara alamiah, mereka sudah membaur dengan warga pribumi bahkan sudah ada yang kawin-mawin. Seluk beluk bahasa dan budaya lokal mereka sudah ketahui dengan baik, sehingga sangat sulit membedakannya dengan warga setempat. Agama mereka pun, sama dengan yang dianut warga pibumi yaitu Islam, Kristen, Budha dan lain-lain. Mereka pada umumnya hidup dalam usaha kegiatan perdagangan dan bisnis lainnya, malah ada yang papah.

Menurut Loekito, PSMTI Parepare hanyalah cabang dari PSMTI yang berpusat di Jakarta. Meski sebanyak empat vihara di Kota Parepare tetapi semuanya bernaung di dalam PSMTI. Wadah ini berperan mendekatkan diri dengan pemerintah dan warga setempat serta mengurusi kepentingan warga Tionghoa itu sendiri, termasuk merintis pekuburan khusus Tionghoa di BilalangE.

PSMTI ini juga mengembangkan dan melestarikan kesenian dan budaya etnis Tionghoa supaya tidak punah di mata generasi mudanya. Wadah ini turut berperan aktif pada saat diminta oleh pemerintah daerah untuk ikut lomba Barongsai di tingkat propinsi maupun tingkat lokal. Pada hari-hari tertentu, sepeti Imlek mengadakan pertunjukan kesenian etnis Cina. Kemudian pada hari Raya Idul Fitri turut pula bersuka cita dengan bersilahturahmi ke panti jompo dan panti asuhan.

Meski tidak ada yang mencoba ke pemerintahan, tetapi terbukanya kran reformasi maka etnis Cina pun bisa duduk di legislatif. Loekito sangat bangga dan bersyukur karena ada warga keturunan Cina yang ikut bekompetisi pada Calon Legislatif (caleg) tahun 2009 nanti. ”Tidak ada masalah jika mereka ingin berkiprah duduk di dewan, asalkan orangnya cakap dan pantas mewakili rakyat. Meski dia orang Cina jika tidak layak, maka warga keturunan Cina belum tentu mendukungnya”, ungkap Loekito. (St.Rahmawati).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar