Senin, 23 Februari 2009

KEHIDUPAN ETNIS JAWA : ENGGAN KEMBALI KE KAMPUNG HALAMAN, SUDAH PUNYA KUBURAN SENDIRI


Kedatangan orang-orang asal pulau Jawa di Kota Parepare diperkirakan mulai marak sekitar tahun 1960-an. Berdirinya kerukunan Keluarga Jawa (KKJ) di Parepare pada tahun 1968 menandakan eksisnya warga asal Jawa tersebut.

Kepindahan mereka di Kota Bandar Madani ini diakibatkan sulitnya mencari lapangan kerja di derah asal dan ingin mencoba peruntungan di daerah lain. Mereka mengharapkan di daerah perantauan bisa mendapatkan sesuatu yang lebih baik dibanding daerah asalnya. Hal yang mereka pegang bila berada di daerah perantauan yakni harus ulet,telaten, dan tidak mencari masalah dengan penduduk setempat.

Pada awalnya warga asal Jawa ini melakukan usaha di bidang perdagangan.Usaha yang mereka tekuni umumnya di bidang makanan seperti menjadi penjual bakso keliling, penjual es putar, tempe dan tahu,warung makan dan beberapa usaha lainnya. Sampai sekarang ini usaha ini tetap menjadi primadona bagi orang Jawa dan beberapa diantara mereka sudah sukses membangun usahanya di Parepare.

“Awalnya saya menjual es krim selama empat tahun, kemudian es potong,es bandung lalu menjadi penjual bakso keliling. Saya kemudian jual bakso di emperan-emperan toko dan akhirnya sekarang sudah ada tempat sendiri untuk menjual” Ujar Mas Jono yang merupakan Ketua KKJ Parepare dan memiliki usaha jual bakso dan mie pangsit di Jalan Cecylia,samping Koramil Ujung.

Meski mereka telah berpuluh-puluh tahun tinggal di Parepare, tradisi dan budaya leluhur tetap dilestarikan. Seperti pagelaran campur sari yang merupakan seni musik tradisional masih sering dijumpai bila ada hajatan seperti aqiqah,pernikahan dan pindah rumah.

Tradisi lain adalah menjelang tahun baru 1 Muharram dilakukan begadang semalam suntuk yang biasanya dilakukan di pantai, tapi bisa juga dilakukan di rumah saja. Kegiatan yang dilakukan saat begadang tersebut yakni berzikir, tapi ada juga yang hanya cerita-cerita saja. Tujuan begadang ini untuk memohon kepada Tuhan agar diberkati dan diberikan rasa aman.

Jumlah warga asal Jawa yang sekarang ini terdata sekitar 400 KK. Mereka terbagi atas empat sub yakni Sub Ujung, Soreang, Bacukiki dan Kerukunan Keluarga Tegal (KKT) . KKT ini menjadi terkelompok sendiri, namun tetap di bawah naungan KKJ. Umumnya orang dari Tegal ini,memiliki bahasa lain dengan orang Jawa pada umumnya dan rata-rata bekerja sebagai penjual tahu isi dan martabak.

“Jumlah tersebut masih 60 persen, kami masih kesulitan mengajak yang lainnya bergabung . Saya kurang tahu alasan mereka tidak mau bergabung.Masyarakat asal Jawa disini, kebanyakan berasal dari Jawa tengah seperti Klaten, Sukoharjo, Sragen dan Purwodadi.” terang Mas Jono, Ketua KKJ Parepare.

Orang-orang Jawa juga memiliki kebiasaan mudik khususnya menjelang lebaran Idul Fitri. Dapat dilihat banyak warung-warung milik seperti warung bakso sudah tutup jelang lebaran dan kembali beroperasi setelah kembali dari kampung halaman.

“ Memang masih banyak yang kembali di kampung halaman bila lebaran Idul Fitri, namun untuk kembali menetap di kampung halaman,rasanya nda ada niat lagi karena sudah enak berusaha di sini. Anak dan istri dan saudara-saudara saya sudah tinggal di Parepare, hanya orang tua yang masih ada di Jawa.”Kata Mas Jono, yang telah menetap sekitar 40 tahun di Parepare.

Pembauran dengan penduduk lokal, juga sudah berlangsung lama. Terbukti banyak orang Jawa sudah bisa berbahasa bugis dengan lancar, meski dialek Jawa-nya masih kental. Bahkan beberapa diantara mereka telah menikah dengan penduduk setempat.

Sebagai bukti keseriusan orang-orang Jawa akan menetap di Parepare, mereka sudah menyediakan lahan sekitar setengah hektar untuk lahan pekuburan khusus untuk orang Jawa, di dekat perumahan PDAM. Lahan ini dibeli tahun 2006 dengan harga Rp 30 juta yang dikumpul dari uang para anggota KKJ.

“Saya ingin para keluarga yang dari Jawa dapat lebih mengenali keluarganya yang telah meninggal dunia dengan adanya pekuburan khusus orang-orang Jawa ini. Awalnya ini mendapat tentangan dari beberapa pihak,namun akhirnya mereka bisa menerima” lanjut Mas Jono (Muh.Yusni)

Kamis, 19 Februari 2009

SARABBA


Sebagai minuman penghangat badan, Sarabba banyak digemari oleh kebanyakan orang khsusunya masyarakat bugis-makassar .Namun juga tak sedikit para pendatang di Kota Bandar Madani ini juga menikmati minuman yang menggunakan jahe sebagai ramuan utamanya.

Sarabba merupakan minuman sejenis wedan jahe seperti yang banyak terdapat di daerah Jawa Tengah. Namun agak sedikit berbeda dengan wedan jahe, campuran santan dan gula aren yang menambah khas rasanya.Untuk menu yang lebih spesial, juga bisa ditambahkan telur ayam kampung dan susu kental.

Minuman ini biasanya dihidangkan bersama ubi goreng atau pisang goreng yang memang sudah dipersiapkan oleh para penjualnya. Biasanya sarabba dapat dijumpai pada sore menjelang petang hingga tengah malam.

Untuk mencicipi minuman khas ini banyak kita jumpai di beberapa warung di Parepare khususnya kafe/warung yang berada di Jalan Alwi Djalil Habibie. Tak perlu merogoh kanton terlalu dalam, cukup dengan merogoh kocek sekitar Rp.5.000 maka anda sudah bisa menikmati minuman khas ini sambil melihat pemandangan indah keindahan laut Parepare.

ABON IKAN TUNA


Menyambut hari-hari tertentu, misalnya hari lebaran, umumnya masyarakat Parepare menyiapkan penganan khusus. Salah satu penganan yang merupakan ciri khas Parepare adalah hasil olahan ikan yang biasa disebut dengan bajabu (abon ikan).

Salah satu usaha abon ikan di Parepare yang saat ini cukup terkenal adalah usaha abon ikan tuna milik Hj.Mulyana, sekaligus pemilik Warung Kopi Dottoro yang terletak di jalan Mattiro Tasi No.3. Awalnya dia buka usaha abon ikan di Barru pada tahun 1997, seiring dimulainya peruntungan usaha warung kopi di tahun 2005, maka usaha abon ikan ini mulai dia coba pasarkan di Parepare dengan memajang di dalam warung kopi miliknya yang setiap hari ditempati berbagai kalangan sebagai tempat konkow-konkow sambil minum kopi.


Menurut H.Muli sampai sekarang ini, omzet perhari berkisar antara Rp 300 .000 pada hari-hari biasa dan pada hari-hari tertentu, misalnya pada saat menjelang lebaran idul fitri lalu berhasil dipasarkan antara Rp 1.000.000,- hingga Rp 1.500.000,-.

Salah satu kelebihan dari abon ikan yang menggunakan khusus ikan tuna tersebut adalah adanya 2 (dua) pilihan, ada rasa manis juga ada rasa pedas, begitupun ukuran dan kemasannya, sudah disiapkan sedemikian rupa mengikuti keinginan konsumen. Untuk wadah plastik, ukuran 200 gr harganya Rp 13.000,-, ukuran 500 gram harganya Rp 35.000,-, sedangkan yang menggunakan karton ukuran 250 gram harganya Rp 17.000,-.Pelanggan yang membeli dalam jumlah banyak juga disiapkan kardus yang memuat 30 kotak.


Usaha yang telah menerima beberapa penghargaan penting dari pejabat Parepare, maupun dari luar Parepare, pelanggang biasanya memborong disamping untuk dikonsumsi sendiri, kadang-kadang dijadikan oleh-oleh khas Parepare. Rasanya tidak beda dengan yang dibuat sendiri, sehingga banyak pelanggang menyiapkan di rumahnya sebagai teman dimakan dengan nasi, penganan lain seperi buras dan gogos

MISTERI BATU MERINGKIK DI BACUKIKI


Bila berkunjung di Kelurahan Watang Bacukiki, maka kita akan menemui sebuah batu besar yang menyerupai kuda meringkik. Batu ini dianggap keramat bagi penduduk warga sekitar, bahkan menjadikannya sebagai simbol dan penamaan wilayah. Bacukiki berasal dari kosa kata Bugis “ Batukiki” yang berarti batu meringkik.

Para pengunjung yang hendak memasuki perkampungan Watang Bacukiki seolah sudah merasakan hawa mistis kampung tersebut. Saat memasuki perkampungan ini, dapat dijumpai sebuah batu besar berukuran tinggi, kurang lebih delapan meter dan lebarnya mencapai 10 meter. Batu tersebut berada tepat di jalan masuk kampung dan membedah jalan.

Dari keterangan penduduk setempat, batu tersebut berasal dari atas bukit Bacukiki. Konon ceritanya, batu ini berpindah sendiri dari tempat asalnya. Hingga sekarang ini, batu besar tersebut diyakini sebagai batu keramat. Karena tak jarang baik penduduk setempat dan penduduk luar daerah Parepare memberikan sesajen. Namun tidak diketahui pasti hari pemberian sesajen itu.

“ Pemberian sesajen itu itu tidak menentu, biasanya mereka datang kalau mendapat mimpi buruk atau baik. Pemberian sesajen ini dipercayai akan membawa keberuntungan seperti mendapatkan keberhasilan usaha dan mendapatkan keselamatan” ujar Ambo Mapitang, salah seorang penduduk setempat.

Menurut cerita penduduk sekitar Watang Baukiki, batu ini seringkali terdengar meringkik seperti ringkikan suara kuda. Dimana ringkikan suara kuda itu konon menandakan datangnya musibah. Salah satu musibah yang diyakini yakni adanya kematian di kalangan istana, wabah penyakit menyerang kampung, dan adanya musibah lain seperti kebakaran.

Sementara itu, salah seorang warga, Muh Bangga (54), mengaku sering melakukan ritual di batu tersebut dan ia melakukannya karena mimpi. Dalam mimpinya meminta melakukan ritual keberhasilan panen petani setempat. Selain itu,pihaknya sering membawakan sesajen di batu keramat itu untuk meminta keselamatan dan rezeki.

Bukan hanya warga setempat yang biasa melakukan ritual sesajen di batu keramat itu. Akan tetapi, banyak dari warga dari luar yang datang melakukan ritual dengan berbagai macam permintaan yang mereka minta. Kini masyarakat setempat berharap batu tersebut tidak mengeluarkan suara seperti ringkikan kuda. Jika itu terjadi, penduduk desa ini khawatir akan terjadi musibah lagi.

Saat ini Kelurahan Watang Bacukiki menjadi tempat objek wisata karena daerah ini telah ditetapkan sebagai desa wisata oleh Pemkot Parepare.Beberapa sisa peniggalan kerajaan disimpan di Museum Labangengnge.( Sumber : Harian Seputar Indonesia edisi 17 -18 Oktober 2008).