Kamis, 12 Maret 2009

BATIK BUGIS ANDALKAN PEWARNA NATURAL


Batik Bugis Makassar yang diberi nama cora toriolo akan mengandalkan pewarna natural yang ada di masyarakat dan ramah lingkungan seperti daun mangga, daun pepaya, kulit pohon mahoni, kulit daun ketapang, akar pohon pace, biji kembang bixa, kunyit, air kelapa dan lain-lain.

Inovasi Batik Bugis Makassar akan sangat berbeda dengan batik-batik yang sudah ada, dimana ini memiliki keunggulan karakter, teknologi proses pembuatan, serta teknik pewarnaan dan corak yang belum dilakukan pembatik-pembatik yang ada saat ini. Pembuatan Batik Bugis Makassar ini menggunakan teknologi komputer dalam penciptaan design hingga pewarnaan.

Program Batik Bugis Makassar akan diprogram secara bertahap melahirkan motif-motif baru berdasarkan daerah-daerah yang ada di Sulawesi Selatan seperti motif Parepare sendiri, motif Maros,motif Soppeng, motif Toraja dan berbagai motif lainnya.

Untuk mengejar ketinggalan pengembangan batik yang ada, program Batik Bugis Makassar ini akan difokuskan pada penciptaan puluhan ribuan design pakem dasar batik yang akan menjadi data base unggulan dan pelatihan teknik batik.Pelatihan teknik pembuatan batik ini akan difokuskan di masyarakat dengan membuka lapangan kerja di sektor UKM dan sektor pendidikan.

Cora Toriolo
Istilah cora toriolo dimaksudkan agar batik ini memiliki ciri tersendiri dalam industri batik. Selain itu akan memberi identitas kuat dalam buadaya Sulawesi Selatan dipercaturan batik dan handicraft.

Program pengembangan cora toriolo, akan terus dikembangkan melalui media kain dan juga media lain seperti kayu, keramik, dan logam. Sosialisasi cora, ungkap dia, akan terus dilakukan Pemerintah melalui seminar dan workshop kepada masyarakat seni dan budayawan yang akan memberikan masukan yang berarti.

Dalam teknik pembatikan, batik bugis ini memiliki corak tersendiri dibandingkan dengan batik lainnya.” Teknik dan warna juga tidak sama seperti di Jawa dengan sistem digital dan teknologi” ujar Taufik Hidayat,Direktur CV Tjnadra Kirana Noor yang berencana mengembangkan batik bugis di Parepare.

Keunggulan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Sulawesi Selatan menjadi slah satu langkah strategis untuk memulai langkah awal untuk bisa bersaing pada pasar bebas nanti .Keunggulan basic culture yang tidak dimiliki oleh negara lain akan menjadi basis poin program yang akan dilaksanakan Pemerintah Daerah. (ysn)

ROTI BERRE


Salah makanan favorit bagi masyarakat Bugis atau warga Parepare pada khususnya adalah roti berre ini, atau yang dalam bahasa Indonesia dinamakan Roti Beras. Sesuai dengan namanya roti ini bahan pokoknya dari tepung beras dicampur dengan pisang.

Makanan ini sering kita jumpai di pagi hari dan menjadi menu sarapan pagi bagi kebanyakan orang di Parepare. Dihidangkan bersama teh hangat atau kopi, akan terasa lebih nikmat. Selain itu,sebagian orang menghidangkan roti berre ini bersama madu dan rasanya lebih nikmat.

Bahkan dalam acara-acara tertentu, roti berre ini biasa disajikan bersama kari ayam.Roti berre dapat dianggap sebagai pengganti nasi.Ini yang mungkin membedakan antara roti berre dengan roti lainnya yang terbuat dari terigu. Dan bila dibandingkan dengan roti yang dijual di toko dengan harga cukup mahal, roti berre tak kalah rasanya. Harga untuk sebuah roti ini cukup murah hanya Rp 500.

Metode pembuatan roti ini cukup sederhana,hanya dengan menyediakan bahan yang telah diramu ,kemudian bahan tersebut dituang ke wajan dengan ukuran tertentu. Setelah itu ditutup dengan pallekko (penutup yang terbuat dari bahan tanah liat) dan setelah matang bagian bawah ,maka dibalik lagi sehingga kedua sisinya matang sebuah.Biasanya penjual roti berre ini menyiapkan beberapa kompor sehingga bisa menghasilkan dalam waktu cepat.(ysn)

KANRE SANTAN


Berkunjung ke Parepare , maka tak lengkaplah rasanya bila tidak menikmati kanre santan atau biasa disngkat dengan kanse.Kanse merupakan nasi yang dicampur dengan air santan dan dihidangkan bersama dengan aneka lauk yang tersedia.

Campuran air santan inilah yang membedakan dengan makanan lainnya, yang bisa menambah selera makan bagi para penikmatnya.Kanse ini biasanya disajikan bersama dengan ikan tuna goreng, nasu palekko ( daging bebek yang diiris kecil-kecil), dan berbagai menu lainnya.

Biasanya makanan ini banyak disukai orang pada malam hari dan bahkan sampai tengah malam,warung-warung kanse masih terbuka. Untuk mendapatkan kanse ini, bisa kita dapatkan di jalan pertamina dan beberapa tempat lainnya di Parepare. Di sana bisa kita beberapa warung menyediakan kanse dengan aneka lauk seperti ayam bebek,telur.dan sebagainya.

Makanan ini tergolong murah, karena hanya merogoh kocek sekitar Rp.6.000 saja,maka kita sudah bisa menikmatinya dengan lauk berupa ayam atau bebek ditambah dengan perkedel dan mie.Untuk menambah dengan lauk lainnya, tentunya harus juga membayar lebih.(ysn)

Selasa, 10 Maret 2009

SEJARAH MONUMEN 40.000 RIBU JIWA


Monumen Korban 40.000 Jiwa merupakan saksi sejarah atas gugurnya 23 pejuang oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh Onder Luitenant Vermeulen pada tanggal 14 Januari 1947.Milter Belanda pada saat itu menggiring ke 23 pejuang tersebut yang sedang ditahan markas MP (sekarang Asrama CPM) Parepare menuju terminal yang sekarang ini menjadi Monumen Korban 40.000 jiwa yang terletak di depan Masjid Agung Parepare.

Ke-23 Pejuang tersebut adalah Makkarumpa Daeng Parani ,A.Isa, A.Sinta, Abdul Rasyid, La Nu’mang,Muh.Kurdi,Abd.Muthalib,Lasiming, Puang Side, La Sibali ,Oyo,LA Sube, A.Mappatola, A.Pamusureng,Abubakar Caco,A.Etong,Bahrong ,HA Abubakar,Osman Salengke,La Upe,La Buddu,La Side, Haruna.Nama-nama tersebut kerap kita jumpai sebagai nama jalan di Parepare dan ini merupakan bentuk penghargaan pemerintah kepada mereka.

Mereka dijajarkan dan ditembak di Monumen Korban 40.000 jiwa sekarang ini. Namun salah seorang perempuan yang sedianya akan ditembak akhirnya dikeluarkan dari barisan. Korban penembakan tersebut diangkut dengan truk sebagai syuhada tanpa dimandikan dan dikafani.Mereka pun dikebumikan bersama dalam satu lubang di Pekuburan La Beru yang sekarang ini merupakan Taman Kesuma Parepare.
.
Pemerintah Kota Parepare membangun Monumen Korban 40.000 Jiwa sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa-jasa pahlawan yang rela mempertaruhkan nyawanya demi kemerdekaan.Selain itu pemerintah juga turut melestarikan bangunan bersejarah ini yang dianggarkan dalam APBD Kota Parepare

“Pemerintah akan tetap menjaga dan tidak akan merevitalisasi bangunan bersejarah ini untuk kepentingan bisnis seperti pembangunan mal dan sejenisnya.Karenanya Pemkot sudah berkomitmen menjaga kelestarian semua cagar budaya di kota ini”ujar Iwan Asaad,Kabag Humas Parepare.

Monumen korban 40.000 Jiwa ini diresmikan tahun tujuh puluhan. Diantara orang-orang yang hadir meresmikan monument tersebut adalah Mayjen (purn) A Mattalatta, A Mannaungi (mantan Walikota Parepare),Kol.A Lantara, Kapt (purn) Arsyad B (mantan Bupati Pangkep), A.Sapada (mantan Bupati Sidrap).(ysn)
(Sumber : Parepare Lebih Indah dari Monte Carlo/A.Makmur Makka)

Senin, 09 Maret 2009

BACUKIKI TEMPO DOELOE


Bacukiki merupakan pelabuhan dan bandar perdagangan kesohor di nusantara pada abad ke-15 dan 16. Dengan posisinya tersebut, ia menjadi rebutan kerajaan di Sulawesi. Tercatat beberap kerajaan yang pernah menaklukkan Bacukiki yakni Kerajaan Wajo, Gowa dan Bone dan Kerajaan Siang (Pangkajene).

Saat Bacukiki dikuasai Kerajaan Gowa dibawah kepemimpinan Raja Gowa X Tunipalangga (1546 – 1565), banyak rakyat Bacukiki dipindahkan ke Gowa, termasuk orang-orang Melayu yang sudah mendirikan perwakilan usaha di Bacukiki. Dan itulah asal mula banyak pemukim Melayu di Makassar (Gowa).

Saat Gowa ditaklukkan oleh Arung Palakka dari Bone, maka otomatis Bacukiki menjadi daerah taklukannya juga. Arung Palakka memerangi Datu Bakke (Wajo) dan meminta Datu Bakke menyerah. Belanda yang merasa punya peluang membantu Datu Bakke menawarkan bantuan kepadanya untuk mengevakuasinya dengan tiga kapal dari pelabuhan Bacukiki.

Dari sana, datu Bakke diharapkan meneruskan perjalanan ke Tamparang (Ajatapparang). Mendengar berita ini, membuat Arung Palakka murka. Belanda berdalih bahwa ia hanya mengirimkan satu kapal ke Bacukiki, karena kebetulan VOC berniat mengembangkan perdagangan di Ajatapparang.

Demikian sekilas gambaran Bacukiki masa lalu yang ditulis oleh Leonard Andaya dalam bukunya “ The Heritage of Arung Palakka”, berdasarkan studi ilmiahnya dari berbagai sumber yang masih tersimpan di negeri Belanda.

Sekarang ini telah masyarakat Bacukiki berkembang seiring perkembangan Kota Parepare. Mereka tetap eksis meski Parepare sekarang lebih banyak dihuni kaum pendatang dari berbagai daerah di tanah air.

Kecamatan Bacukiki telah dimekarkan menjadi dua kecamatan yakni Kecamatan Bacukiki dan Bacukiki Barat.Kecamatan Bacukiki meliputi empat kelurahan yakni Lompoe,Watang Bacukiki, Lemoe dan Galung Maloang. Sementara Bacukiki Barat meliputi wilayah Lumpue,Sumpang Minangae, Cappa Galung, Kampung Baru, Bumi Harapan dan Tiro Sompe.
(Sumber : Parepare Lebih Indah dari Monte Carlo/A.Makmur Makka)

Senin, 02 Maret 2009

KEHIDUPAN ETNIS TIONGHOA DI PAREPARE


Jarak antara warga keturunan Cina dengan warga pribumi di Kota Parepare, jaraknya tidak bisa lagi diukur. Kehidupan mereka di tengah masyarakat tidak punya lagi jarak pemisah. Mereka hidup membaur di semua lini kehidupan sosial sehingga sulit dibedakan, mana warga keturunan Cina dan mana warga pribumi.

Jangan heran jika anda menemukan, ada warga keturunan Cina sangat fasih berbahasa daerah. Sebab hampir semua warga Tionghoa ini mengerti dan paham serta lancar melafalkannya. “Malah, mereka lebih pintar berbahasa Bugis dibanding orang Bugis itu sendiri yang sudah tidak tahu lagi bahasa daerahnya”, kata Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Parepare, Loekito Soedirman kepada Bulletin Bandar Madani.

Kondisi ini bisa dimaklumi karena sosialisasinya dengan kehidupan masyarakat lokal sudah terbilang ratusan tahun. Keturunan Cina yang ada sekarang di Kota Bandar Madani ini, tidak bisa lagi dihitung keturunan ke berapa dari nenek moyangnya. Sebab, etnis Cina ini masuk di Kota Parepare sekitar 200 tahun silam.

Saat ini berdasarkan data PSMTI yang didirikan 10 tahun lalu itu, sekitar 500 KK atau sekitar 2.000 orang Cina. Secara alamiah, mereka sudah membaur dengan warga pribumi bahkan sudah ada yang kawin-mawin. Seluk beluk bahasa dan budaya lokal mereka sudah ketahui dengan baik, sehingga sangat sulit membedakannya dengan warga setempat. Agama mereka pun, sama dengan yang dianut warga pibumi yaitu Islam, Kristen, Budha dan lain-lain. Mereka pada umumnya hidup dalam usaha kegiatan perdagangan dan bisnis lainnya, malah ada yang papah.

Menurut Loekito, PSMTI Parepare hanyalah cabang dari PSMTI yang berpusat di Jakarta. Meski sebanyak empat vihara di Kota Parepare tetapi semuanya bernaung di dalam PSMTI. Wadah ini berperan mendekatkan diri dengan pemerintah dan warga setempat serta mengurusi kepentingan warga Tionghoa itu sendiri, termasuk merintis pekuburan khusus Tionghoa di BilalangE.

PSMTI ini juga mengembangkan dan melestarikan kesenian dan budaya etnis Tionghoa supaya tidak punah di mata generasi mudanya. Wadah ini turut berperan aktif pada saat diminta oleh pemerintah daerah untuk ikut lomba Barongsai di tingkat propinsi maupun tingkat lokal. Pada hari-hari tertentu, sepeti Imlek mengadakan pertunjukan kesenian etnis Cina. Kemudian pada hari Raya Idul Fitri turut pula bersuka cita dengan bersilahturahmi ke panti jompo dan panti asuhan.

Meski tidak ada yang mencoba ke pemerintahan, tetapi terbukanya kran reformasi maka etnis Cina pun bisa duduk di legislatif. Loekito sangat bangga dan bersyukur karena ada warga keturunan Cina yang ikut bekompetisi pada Calon Legislatif (caleg) tahun 2009 nanti. ”Tidak ada masalah jika mereka ingin berkiprah duduk di dewan, asalkan orangnya cakap dan pantas mewakili rakyat. Meski dia orang Cina jika tidak layak, maka warga keturunan Cina belum tentu mendukungnya”, ungkap Loekito. (St.Rahmawati).

Senin, 23 Februari 2009

KEHIDUPAN ETNIS JAWA : ENGGAN KEMBALI KE KAMPUNG HALAMAN, SUDAH PUNYA KUBURAN SENDIRI


Kedatangan orang-orang asal pulau Jawa di Kota Parepare diperkirakan mulai marak sekitar tahun 1960-an. Berdirinya kerukunan Keluarga Jawa (KKJ) di Parepare pada tahun 1968 menandakan eksisnya warga asal Jawa tersebut.

Kepindahan mereka di Kota Bandar Madani ini diakibatkan sulitnya mencari lapangan kerja di derah asal dan ingin mencoba peruntungan di daerah lain. Mereka mengharapkan di daerah perantauan bisa mendapatkan sesuatu yang lebih baik dibanding daerah asalnya. Hal yang mereka pegang bila berada di daerah perantauan yakni harus ulet,telaten, dan tidak mencari masalah dengan penduduk setempat.

Pada awalnya warga asal Jawa ini melakukan usaha di bidang perdagangan.Usaha yang mereka tekuni umumnya di bidang makanan seperti menjadi penjual bakso keliling, penjual es putar, tempe dan tahu,warung makan dan beberapa usaha lainnya. Sampai sekarang ini usaha ini tetap menjadi primadona bagi orang Jawa dan beberapa diantara mereka sudah sukses membangun usahanya di Parepare.

“Awalnya saya menjual es krim selama empat tahun, kemudian es potong,es bandung lalu menjadi penjual bakso keliling. Saya kemudian jual bakso di emperan-emperan toko dan akhirnya sekarang sudah ada tempat sendiri untuk menjual” Ujar Mas Jono yang merupakan Ketua KKJ Parepare dan memiliki usaha jual bakso dan mie pangsit di Jalan Cecylia,samping Koramil Ujung.

Meski mereka telah berpuluh-puluh tahun tinggal di Parepare, tradisi dan budaya leluhur tetap dilestarikan. Seperti pagelaran campur sari yang merupakan seni musik tradisional masih sering dijumpai bila ada hajatan seperti aqiqah,pernikahan dan pindah rumah.

Tradisi lain adalah menjelang tahun baru 1 Muharram dilakukan begadang semalam suntuk yang biasanya dilakukan di pantai, tapi bisa juga dilakukan di rumah saja. Kegiatan yang dilakukan saat begadang tersebut yakni berzikir, tapi ada juga yang hanya cerita-cerita saja. Tujuan begadang ini untuk memohon kepada Tuhan agar diberkati dan diberikan rasa aman.

Jumlah warga asal Jawa yang sekarang ini terdata sekitar 400 KK. Mereka terbagi atas empat sub yakni Sub Ujung, Soreang, Bacukiki dan Kerukunan Keluarga Tegal (KKT) . KKT ini menjadi terkelompok sendiri, namun tetap di bawah naungan KKJ. Umumnya orang dari Tegal ini,memiliki bahasa lain dengan orang Jawa pada umumnya dan rata-rata bekerja sebagai penjual tahu isi dan martabak.

“Jumlah tersebut masih 60 persen, kami masih kesulitan mengajak yang lainnya bergabung . Saya kurang tahu alasan mereka tidak mau bergabung.Masyarakat asal Jawa disini, kebanyakan berasal dari Jawa tengah seperti Klaten, Sukoharjo, Sragen dan Purwodadi.” terang Mas Jono, Ketua KKJ Parepare.

Orang-orang Jawa juga memiliki kebiasaan mudik khususnya menjelang lebaran Idul Fitri. Dapat dilihat banyak warung-warung milik seperti warung bakso sudah tutup jelang lebaran dan kembali beroperasi setelah kembali dari kampung halaman.

“ Memang masih banyak yang kembali di kampung halaman bila lebaran Idul Fitri, namun untuk kembali menetap di kampung halaman,rasanya nda ada niat lagi karena sudah enak berusaha di sini. Anak dan istri dan saudara-saudara saya sudah tinggal di Parepare, hanya orang tua yang masih ada di Jawa.”Kata Mas Jono, yang telah menetap sekitar 40 tahun di Parepare.

Pembauran dengan penduduk lokal, juga sudah berlangsung lama. Terbukti banyak orang Jawa sudah bisa berbahasa bugis dengan lancar, meski dialek Jawa-nya masih kental. Bahkan beberapa diantara mereka telah menikah dengan penduduk setempat.

Sebagai bukti keseriusan orang-orang Jawa akan menetap di Parepare, mereka sudah menyediakan lahan sekitar setengah hektar untuk lahan pekuburan khusus untuk orang Jawa, di dekat perumahan PDAM. Lahan ini dibeli tahun 2006 dengan harga Rp 30 juta yang dikumpul dari uang para anggota KKJ.

“Saya ingin para keluarga yang dari Jawa dapat lebih mengenali keluarganya yang telah meninggal dunia dengan adanya pekuburan khusus orang-orang Jawa ini. Awalnya ini mendapat tentangan dari beberapa pihak,namun akhirnya mereka bisa menerima” lanjut Mas Jono (Muh.Yusni)

Kamis, 19 Februari 2009

SARABBA


Sebagai minuman penghangat badan, Sarabba banyak digemari oleh kebanyakan orang khsusunya masyarakat bugis-makassar .Namun juga tak sedikit para pendatang di Kota Bandar Madani ini juga menikmati minuman yang menggunakan jahe sebagai ramuan utamanya.

Sarabba merupakan minuman sejenis wedan jahe seperti yang banyak terdapat di daerah Jawa Tengah. Namun agak sedikit berbeda dengan wedan jahe, campuran santan dan gula aren yang menambah khas rasanya.Untuk menu yang lebih spesial, juga bisa ditambahkan telur ayam kampung dan susu kental.

Minuman ini biasanya dihidangkan bersama ubi goreng atau pisang goreng yang memang sudah dipersiapkan oleh para penjualnya. Biasanya sarabba dapat dijumpai pada sore menjelang petang hingga tengah malam.

Untuk mencicipi minuman khas ini banyak kita jumpai di beberapa warung di Parepare khususnya kafe/warung yang berada di Jalan Alwi Djalil Habibie. Tak perlu merogoh kanton terlalu dalam, cukup dengan merogoh kocek sekitar Rp.5.000 maka anda sudah bisa menikmati minuman khas ini sambil melihat pemandangan indah keindahan laut Parepare.

ABON IKAN TUNA


Menyambut hari-hari tertentu, misalnya hari lebaran, umumnya masyarakat Parepare menyiapkan penganan khusus. Salah satu penganan yang merupakan ciri khas Parepare adalah hasil olahan ikan yang biasa disebut dengan bajabu (abon ikan).

Salah satu usaha abon ikan di Parepare yang saat ini cukup terkenal adalah usaha abon ikan tuna milik Hj.Mulyana, sekaligus pemilik Warung Kopi Dottoro yang terletak di jalan Mattiro Tasi No.3. Awalnya dia buka usaha abon ikan di Barru pada tahun 1997, seiring dimulainya peruntungan usaha warung kopi di tahun 2005, maka usaha abon ikan ini mulai dia coba pasarkan di Parepare dengan memajang di dalam warung kopi miliknya yang setiap hari ditempati berbagai kalangan sebagai tempat konkow-konkow sambil minum kopi.


Menurut H.Muli sampai sekarang ini, omzet perhari berkisar antara Rp 300 .000 pada hari-hari biasa dan pada hari-hari tertentu, misalnya pada saat menjelang lebaran idul fitri lalu berhasil dipasarkan antara Rp 1.000.000,- hingga Rp 1.500.000,-.

Salah satu kelebihan dari abon ikan yang menggunakan khusus ikan tuna tersebut adalah adanya 2 (dua) pilihan, ada rasa manis juga ada rasa pedas, begitupun ukuran dan kemasannya, sudah disiapkan sedemikian rupa mengikuti keinginan konsumen. Untuk wadah plastik, ukuran 200 gr harganya Rp 13.000,-, ukuran 500 gram harganya Rp 35.000,-, sedangkan yang menggunakan karton ukuran 250 gram harganya Rp 17.000,-.Pelanggan yang membeli dalam jumlah banyak juga disiapkan kardus yang memuat 30 kotak.


Usaha yang telah menerima beberapa penghargaan penting dari pejabat Parepare, maupun dari luar Parepare, pelanggang biasanya memborong disamping untuk dikonsumsi sendiri, kadang-kadang dijadikan oleh-oleh khas Parepare. Rasanya tidak beda dengan yang dibuat sendiri, sehingga banyak pelanggang menyiapkan di rumahnya sebagai teman dimakan dengan nasi, penganan lain seperi buras dan gogos

MISTERI BATU MERINGKIK DI BACUKIKI


Bila berkunjung di Kelurahan Watang Bacukiki, maka kita akan menemui sebuah batu besar yang menyerupai kuda meringkik. Batu ini dianggap keramat bagi penduduk warga sekitar, bahkan menjadikannya sebagai simbol dan penamaan wilayah. Bacukiki berasal dari kosa kata Bugis “ Batukiki” yang berarti batu meringkik.

Para pengunjung yang hendak memasuki perkampungan Watang Bacukiki seolah sudah merasakan hawa mistis kampung tersebut. Saat memasuki perkampungan ini, dapat dijumpai sebuah batu besar berukuran tinggi, kurang lebih delapan meter dan lebarnya mencapai 10 meter. Batu tersebut berada tepat di jalan masuk kampung dan membedah jalan.

Dari keterangan penduduk setempat, batu tersebut berasal dari atas bukit Bacukiki. Konon ceritanya, batu ini berpindah sendiri dari tempat asalnya. Hingga sekarang ini, batu besar tersebut diyakini sebagai batu keramat. Karena tak jarang baik penduduk setempat dan penduduk luar daerah Parepare memberikan sesajen. Namun tidak diketahui pasti hari pemberian sesajen itu.

“ Pemberian sesajen itu itu tidak menentu, biasanya mereka datang kalau mendapat mimpi buruk atau baik. Pemberian sesajen ini dipercayai akan membawa keberuntungan seperti mendapatkan keberhasilan usaha dan mendapatkan keselamatan” ujar Ambo Mapitang, salah seorang penduduk setempat.

Menurut cerita penduduk sekitar Watang Baukiki, batu ini seringkali terdengar meringkik seperti ringkikan suara kuda. Dimana ringkikan suara kuda itu konon menandakan datangnya musibah. Salah satu musibah yang diyakini yakni adanya kematian di kalangan istana, wabah penyakit menyerang kampung, dan adanya musibah lain seperti kebakaran.

Sementara itu, salah seorang warga, Muh Bangga (54), mengaku sering melakukan ritual di batu tersebut dan ia melakukannya karena mimpi. Dalam mimpinya meminta melakukan ritual keberhasilan panen petani setempat. Selain itu,pihaknya sering membawakan sesajen di batu keramat itu untuk meminta keselamatan dan rezeki.

Bukan hanya warga setempat yang biasa melakukan ritual sesajen di batu keramat itu. Akan tetapi, banyak dari warga dari luar yang datang melakukan ritual dengan berbagai macam permintaan yang mereka minta. Kini masyarakat setempat berharap batu tersebut tidak mengeluarkan suara seperti ringkikan kuda. Jika itu terjadi, penduduk desa ini khawatir akan terjadi musibah lagi.

Saat ini Kelurahan Watang Bacukiki menjadi tempat objek wisata karena daerah ini telah ditetapkan sebagai desa wisata oleh Pemkot Parepare.Beberapa sisa peniggalan kerajaan disimpan di Museum Labangengnge.( Sumber : Harian Seputar Indonesia edisi 17 -18 Oktober 2008).